Sabtu, 04 Januari 2014

Panduan Pemasyarakatan UUD N RI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI (1)

PANDUAN PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DAN KETETAPAN MPR RI

Edisi Revisi

 

Cetakan Pertama               :               Maret 2005

Cetakan Kedua   :               Maret 2006

Cetakan Ketiga   :               Maret 2007

Cetakan Keempat              :               Mei 2008

Cetakan Kelima :               Oktober 2008

Cetakan Keenam                :               Mei 2009

Cetakan Ketujuh                :               Oktober 2009

Cetakan Kedelapan           :               Januari 2010

Cetakan Kesembilan         :               Juni 2010

Cetakan Kesepuluh            :               Februari 2011

xiv + ....... halaman

 

 

Sekretariat Jenderal MPR RI

Jl. Jend. Gatot Subroto No.6 Jakarta - 10270


MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

SEKRETARIAT JENDERAL

————

 

KATA PENGANTAR

     

Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menetapkan bahwa salah satu tugas Pimpinan MPR adalah mengoordinasikan Anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud dengan mengoordinasikan adalah mempersiapkan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masing-masing. Ketentuan ini tidak menutup kesempatan bagi Pemerintah dan masyarakat untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Dalam Pelaksanaannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e Peraturan Tata Tertib MPR, tugas tersebut diimplementasikan oleh Pimpinan MPR dengan menyosialisasikan 4 (empat) pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika kepada segenap elemen bangsa. Selain itu, Pimpinan MPR juga membentuk Tim Kerja Sosialisasi yang anggotanya berjumlah 35 orang, terdiri atas unsur Fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota DPD di MPR yang ditugasi untuk menyusun materi dan metodologi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan sosialisasi, serta melaksanakan sosialisasi di kabupaten/kota.

 

Kegiatan sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta Ketetapan MPR sangat penting karena saat ini masih banyak penyelenggara negara dan kelompok masyarakat yang belum memahami dan mengerti tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu, banyak masukan dan harapan dari masyarakat bahwa sosialisasi yang telah dilakukan memang sudah sangat effektif namun belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga MPR harus terus melakukan sosialisasi dengan jangkauan yang lebih luas yang diharapkan akan banyak masyarakat yang paham akan konstitusi.

 

Sebagai lembaga negara yang melaksanakan tugas-tugas konstitusional, MPR harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah. MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, mengembangkan mekanisme checks and balances, meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja Majelis agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kegiatan sosialisasi, diharapkan akan membantu masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Penerbitan buku Panduan Pemasyarakatan yang memuat tentang materi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat serta Ketetapan dan Keputusan MPR merupakan upaya strategis dalam rangka memberikan informasi yang luas kepada masyarakat tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan materi serta status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR. Buku ini selanjutnya dijadikan sebagai salah satu bahan bagi MPR dalam memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR.

 

Akhirnya, semoga Buku ini bermanfaat dalam kegiatan sosialisasi dan dalam memahami aturan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Jakarta,    Januari 2011

SEKRETARIS JENDERAL,

 

 

 

 

Drs. EDDIE SIREGAR, M.Si.


 

Daftar Isi

 

Hal


Kata Pengantar

ii


Daftar Isi

v


Sambutan Pimpinan MPR RI

viii


 

 

 


Bab I

PENDAHULUAN

1


 

 

 


Bab II

UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

4


 

A

Latar Belakang, Dasar Pemikiran dan Tujuan Perubahan UUD 1945

 


 

 

 

Latar Belakang dan Dasar Pemikiran         ........................................

4


 

 

 

Tujuan Perubahan UUD 1945         ...................................................

11


 

 

 

 

 


 

B

Dasar Yuridis Dan Kesepakatan Dasar Dalam Perubahan UUD 1945

 


 

 

 

Dasar Yuridis Perubahan UUD 1945         ........................................

12


 

 

 

Kesepakatan Dasar Dalam Perubahan UUD 1945    ..................

14


 

 

 

 

 


 

C

Proses Perubahan UUD 1945

 


 

 

 

Awal Perubahan UUD 1945           ....................................................

19


 

 

 

Partisipasi Publik             .....................................................................

23


 

 

 

Dinamika Pembahasan    ..............................................................

26


 

 

 

Tingkat-Tingkat Pembicaraan      ................................................

33


 

 

 

Jenis Perubahan UUD 1945         .....................................................

48


 

 

 

Ketentuan Umum         .....................................................................

51


 

 

 

 

 


 

D

Hasil Perubahan Dan Naskah Asli UUD 1945

 


 

 

 

Bab Bentuk dan Kedaulatan          ....................................................

60


 

 

 

Bab Majelis Permusyawaratan Rakyat         ......................................

67


 

 

 

Bab Kekuasaan Pemerintahan Negara

72


 

 

 

Penghapusan DPA dan Kekuasaan Presiden Membentuk Suatu Dewan Pertimbangan         ................................................................

 

108


 

 

 

Bab Kementerian Negara        .........................................................

110


 

 

 

Bab Pemerintahan Daerah             .........................................................

112


 

 

 

Bab Dewan Perwakilan Rakyat     ................................................

121


 

 

 

Bab Dewan Perwakilan Daerah     .................................................

132


 

 

 

Bab Pemilihan Umum      ...............................................................

136


 

 

 

Bab Hal Keuangan         ...................................................................

137


 

 

 

Bab Badan Pemeriksa Keuangan ..............................................

142


 

 

 

Bab Kekuasaan Kehakiman          .....................................................

144


 

 

 

Bab Wilayah Negara        .................................................................

154


 

 

 

Bab Warga Negara dan Penduduk         ............................................

158


 

 

 

Bab Hak Asasi Manusia   ...........................................................

161


 

 

 

Bab Agama          .............................................................................

168


 

 

 

Bab Pertahanan dan Keamanan Negara         ...................................

168


 

 

 

Bab Pendidikan dan Kebudayaan         ...........................................

174


 

 

 

Bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Rakyat         .........

179


 

 

 

Bab Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan         ...............................................................................

 

184


 

 

 

Bab Perubahan Undang-Undang Dasar         ....................................

186


 

 

 

Aturan Peralihan              .......................................................................

189


 

 

 

Aturan Tambahan         .....................................................................

192


 

 

 

 

 


Bab III

KETETAPAN MPR

 


 

A

Dasar Pemikiran, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR

 


 

 

 

Dasar Pemikiran               ........................................................................

195


 

 

 

Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar         ...........................................................

 

197


 

 

 

Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar        .............................................................

 

199


 

B

Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

 


 

 

 

Perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar         ...................

201


 

 

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat          ............................

201


 

 

 

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat          ...........................

202


 

 

 

 

 


 

C

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 s/d 2002

 


 

 

 

Latar Belakang Dan Dasar Pemikiran Pembentukan            ...............

203


 

 

 

Dasar Hukum Pembentukan         .....................................................

208


 

 

 

Tujuan Pembentukan       .................................................................

209


 

 

 

Proses Pembentukan         ..................................................................

210


 

 

 

Mekanisme Pembentukan               ......................................................

211


 

 

 

Substansi Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003   ..................

213


 

 

 

 

 


Bab IV

KEPUTUSAN MPR RI NOMOR 1/MPR/2010 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MPR RI

271


 

A.

Tata Cara Perubahan Undang-Undang Dasar        ............................

271


 

B.

Tata Cara Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya        ...............................................................

 

274


 

 

 

 

 


Bab V

PENUTUP

277



 

 

 


MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

————

 

SAMBUTAN

PIMPINAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA PERIODE 2009-2014

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

      Reformasi konstitusi yang diwujudkan MPR melalui Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki babak baru yang mengubah sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) memberikan landasan yang kuat bagi bangsa untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia sesuai harapan rakyat dan semangat reformasi.

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 merupakan manifestasi kehendak kolektif bangsa dalam mewujudkan konstitusi modern yang bisa memberikan inspirasi dan panduan bagi segenap upaya implementasi nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan dalam kerangka mewujudkan cita-cita kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketentuan-ketentuan hasil Perubahan UUD NRI Tahun 1945 setelah dilaksanakan selama lebih satu dasawarsa memberikan optimisme dan harapan yang besar bagi bangsa Indonesia akan terwujudnya cita-cita demokrasi. Semua lembaga negara yang diamanatkan oleh konsitusi telah terbentuk, mulai dari Mahkamah Konstitusi, sampai Dewan Pertimbangan Presiden. Lembaga eksekutif telah terbentuk dengan model pemilihan yang baru, demikian pula dengan lembaga legislatif. Semua lembaga dalam wilayah kekuasaan kehakiman juga telah terbentuk. Demikian pula lembaga-lembaga lain yang bersifat khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, dan Bank Indonesia.

Namun keberhasilan yang diupayakan sebagai pelaksanaan dari Perubahan UUD NRI Tahun 1945 tidak sendirinya menjamin bahwa apa yang dikehendaki oleh konstitusi terwujud. Terutama pada tingkat implementasi masih ditemukan adanya deviasi dan distorsi dalam kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam konstitusi. Fenomena kemiskinan, ketidakadilan dan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat merupakan beberapa contoh yang dapat disebut untuk menggambarkan betapa penting peningkatan kesadaran hukum dan budaya berkonstitusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Terkait dengan ini, sebagai Pimpinan MPR RI kami memandang pentingnya kegiatan pemasyarakatan atau sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 untuk terus menerus dilakukan, agar UUD NRI Tahun 1945 yang disempurnakan itu dapat dipahami oleh aparatur penyelenggara negara dan warga masyarakat. Penerbitan buku panduan yang ada di tangan pembaca saat ini merupakan wujud komitmen kami sebagai Pimpinan MPR untuk menyukseskan program sosialisasi atau pemasyarakatan UUD NRI Tahun 1945. 

Sebagaimana diketahui, UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami empat kali tahap perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali tahap perubahan itu, materi UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami perubahan sangat mendasar. Perubahan itu telah melahirkan konstitusi yang baru meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI Tahun 1945. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli UUD NRI Tahun 1945 yang pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Keseluruhan proses perubahan UUD NRI Tahun 1945 dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 adalah satu rangkaian kegiatan reformasi konstitusi yang integral. Materi yang dibahas bersifat menyeluruh, mencakup keseluruhan materi perubahan yang pembahasannya secara teknis dilakukan bertahap. Mula-mula materi perubahan dipersiapkan pada tingkat Panitia Ad Hoc yang bekerja dari November 1999 sampai dengan Oktober 2000. Materi yang disepakati pada tingkat Panitia Ad Hoc diselesaikan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Selanjutnya materi yang belum disepakati dilanjutkan pembahasannya pada tingkat Panitia Ad Hoc dari November 2000 sampai dengan Oktober 2001 dan diselesaikan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001. Demikian pula yang tidak selesai pada masa itu dilanjutkan pembahasannya di tingkat Panitia Ad Hoc dan diselesaikan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 berdampak pada perubahan kedudukan, tugas dan wewenang MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, karena kedaulatan rakyat pasca perubahan konstitusi dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945. Kedudukan MPR, seperti halnya lembaga-lembaga negara lain, tergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Perubahan kedudukan MPR tersebut juga berimplikasi pada hilangnya wewenang MPR untuk membentuk Ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar, seperti Garis-garis Besar Haluan Negara.

UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR merupakan Putusan MPR yang perlu dipahami masyarakat sebagai sumber hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapainya adalah dengan penyebarluasan materi Putusan MPR tersebut kepada masyarakat. Peran tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyebutkan bahwa salah satu tugas Pimpinan MPR adalah mengoordinasikan Anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945. Tugas tersebut diimplementasikan oleh Pimpinan MPR dengan mensosialisasikan 4 (empat) pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika kepada segenap elemen bangsa.

Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah nilai-nilai luhur bangsa yang menjadi ciri karakter bangsa. Dengan pemasyarakatan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang tak terpisahkan tersebut diharapkan masyarakat memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang memungkinkan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis, sejahtera dan bermartabat sesuai amanah konstitusi.

Komitmen Pimpinan MPR untuk memperluas jangkauan sosialisasi 4 (empat) pilar diwujudkan dengan memadukan berbagai bentuk kegiatan, antara lain Cerdas Cermat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, training of trainers, dialog interaktif melalui TVRI, sosialisasi melalui media cetak, sosialisasi langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat, serta dengan penerbitan berbagai buku yang memuat sejarah ketatanegaraan, seperti buku Panduan Pemasyarakatan UUD NRI Tahun 1945, buku Materi Sosialisasi Putusan MPR berupa Ketetapan dan Keputusan MPR, dan buku Risalah Perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Penerbitan kembali buku Panduan yang memuat tentang Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat) dan Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Ketetapan dan Keputusan MPR) adalah untuk memudahkan masyarakat dalam mempelajari hal-ihwal konstitusi negara Indonesia. Buku ini dapat memandu kita untuk mengetahui uraian berbagai hal mengenai latar belakang, dasar pemikiran dan tujuan diadakannya Perubahan UUD NRI Tahun 1945, dasar yuridis dan kesepakatan dasar dalam melakukan Perubahan, serta proses dan hasil Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Dalam buku ini juga kita dapat mengetahui hasil peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR, yang merupakan rujukan dalam pemasyarakatan Putusan MPR.

Akhirnya, semoga penerbitan buku ini dapat membawa manfaat bagi nusa, bangsa, dan negara.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

 

Jakarta,      Januari 2011

PIMPINAN MPR

Ketua,

 

 

 

 

 

H. M. TAUFIQ KIEMAS

 

Wakil Ketua,

 

 

 

 

 

Drs. HAJRIYANTO Y. THOHARI, M.A

 

Wakil Ketua,

 

 

 

 

 

Hj. MELANI LEIMENA SUHARLY

 

Wakil Ketua,

 

 

 

 

 

DR. AHMAD FARHAN HAMID, M.S. 

 

Wakil Ketua,

 

 

 

 

 

LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN

 


BAB I

  PENDAHULUAN

Forum Permusyawaratan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999–2004 telah menuntaskan salah satu amanat reformasi yaitu melaksanakan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta meninjau materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari tahun 1960 – 2002.

Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hasil peninjauan terhadap seluruh materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR harus dipahami oleh seluruh elemen masyarakat. Di sinilah arti penting sosialisasi yang dimaksudkan sebagai upaya pembelajaran bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan yang memadai tentang konstitusi, pada khususnya, dan tentang dinamika ketatanegaraan pada umumnya, yang dapat menumbuhkan sikap dan perilaku masyarakat luas untuk menjawab tantangan-tantangan ke depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Panduan ini berisi hal-hal yang berkaitan de­ngan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi pada awal era reformasi sampai Sidang Tahunan MPR tahun 2002, yai­tu mengenai latar be­lakang dan da­sar pemikiran, tujuan perubahan, dasar yuridis dan ke­sepakatan dasar dalam mela­kukan perubahan, proses perubahan, dan hasil perubahan Undang-Un­dang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta hasil peninjauan materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

Isi yang terkandung di dalam panduan ini diha­rapkan dapat memberikan pemahaman yang baik mengenai perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan MPR sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 serta hasil peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR. Dengan membaca pan­duan ini, diharapkan dapat dipahami suasana dan di­na­mika pembahasan selama proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dilakukan, harapan  dan se­mangat yang menjiwai perubahan, serta latar be­lakang dan implikasinya. Namun, perlu disampaikan bahwa panduan ini tidaklah merangkum selu­ruh rincian hal-hal yang terkait dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR, termasuk per­de­batan yang terjadi selama berlang­sung­nya sidang-sidang pembahasan kedua materi tersebut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 15 ayat (1) huruf e dan Peraturan Tata Tertib MPR Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pimpinan MPR memiliki tugas mengoordinasikan Anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud dengan mengoordinasikan adalah mempersiapkan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masing-masing. Ketentuan ini tidak menutup kesempatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk memasyarakatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam buku ini dijelaskan materi Putusan MPR, yaitu tentang:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002;

Keputusan MPR RI Nomor 1/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI;

Panduan ini disusun mengacu kepada buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disusun oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR periode 1999-2004 serta buku Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indinesia, Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI yang disusun oleh Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR periode 1999-2004 sebagai bahan bagi para  narasumber  dalam  mela­kukan ke­giat­an  memasyarakatkan Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Putusan MPR lainnya.


BAB II

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Latar Belakang, Dasar Pemikiran Dan Tujuan Perubahan UUD 1945

Latar Belakang Dan Dasar Pemikiran

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden setelah ter­­jadi gelombang unjuk rasa besar-besaran, yang dimotori oleh mahasiswa, pe­muda, dan berbagai komponen bangsa lainnya, di Jakarta dan di daerah-daerah. Berhentinya Presiden Soe­har­to di tengah kri­sis eko­nomi dan mo­neter yang sangat memberat­kan kehi­dupan masya­rakat Indo­nesia menjadi awal dimu­lainya era re­formasi di tanah air.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi ter­jadi­nya per­ubahan menuju penyelenggaraan negara yang le­bih demokratis, transparan, dan memiliki akun­tabi­litas tinggi serta terwujudnya good go­vernance dan adanya kebebasan ber­­pen­dapat. Semuanya itu diha­rapkan makin mende­katkan bangsa pada pen­capaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pem­bukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mam­pu mendorong perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan men­junjung ting­­gi nilai-nilai kebenaran, keadilan, keju­juran, tang­gung jawab, persamaan, serta per­sau­da­raan.

Pada awal era reformasi, berkembang dan populer di masyarakat banyaknya tuntutan re­for­masi yang didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, ter­ma­suk mahasiswa dan pemuda.  Tuntutan, itu antara lain, sebagai berikut.

Amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan ko­rupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pu­sat dan daerah (otonomi daerah).

Mewujudkan kebebasan pers.

Mewujudkan kehidupan demokrasi.

Tuntut­an perubahan Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang digulirkan oleh ber­bagai ka­lang­­an masya­rakat dan kekuatan sosial po­litik dida­sarkan pada pan­dangan bahwa Un­dang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum cukup memuat lan­dasan bagi kehidupan yang demokratis, pember­da­yaan rak­yat, dan peng­hor­matan HAM. Selain itu di dalamnya terdapat pa­sal-pasal yang menim­bul­kan multitafsir dan mem­buka peluang bagi penye­leng­garaan negara yang oto­riter, sen­tra­listik, tertutup, dan KKN yang me­nim­bulkan keme­ro­­sotan kehi­dup­an nasional di ber­bagai bidang ke­hidupan.

Tuntutan perubahan Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada era reformasi tersebut merupakan suatu langkah terobosan yang mendasar karena pada era sebelumnya tidak dikehendaki adanya perubahan Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sikap po­litik peme­rintah pada waktu itu ke­mudian diperkukuh dengan dasar hukum Kete­tapan MPR No­mor IV/MPR/1983 ten­tang Refe­rendum, yang berisi ke­hendak untuk tidak melakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila mun­cul juga kehendak mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terlebih da­hu­lu harus dilakukan referen­dum dengan persya­ratan yang sa­ngat ketat se­hingga kecil ke­mung­kinannya untuk berhasil sebe­lum usul per­ubahan Un­dang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan ke si­dang MPR untuk di­bahas dan dipu­tus­.

Dalam perkembangannya, tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Selanjutnya, tuntutan itu diwu­jud­kan se­cara komprehensif, bertahap, dan sis­tematis dalam empat kali per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada empat sidang MPR sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dila­ku­kan oleh MPR sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar dan untuk mengubah Undang-Undang Dasar, sekurang-kurang­nya 2/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir.  Pu­tus­an diambil dengan persetujuan sekurang-ku­rang­nya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di­la­kukan oleh MPR, selain merupakan perwujudan tuntutan reformasi, juga sejalan dengan pidato Ir. Soe­karno, Ketua Panitia Penyusun Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemer­dekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Pada kesempatan itu ia menyatakan antara lain, “bah­wa ini adalah sekedar Undang-Undang Da­sar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bah­wa ba­rangkali boleh dika­takan pula, inilah revo­lutie­grond­wet. Nanti kita mem­­buat Undang-Undang Da­sar yang lebih sem­pur­na dan lengkap.”

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di­lakukan MPR merupakan upaya pe­nyem­purnaan aturan dasar guna lebih memantapkan  usaha pencapaian cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana tertuang da­lam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memenuhi sila keempat Pan­casila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebi­jaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, yang penerapannya berlangsung di dalam sistem perwakilan atau permusyawaratan. Orang-orang yang duduk di dalam merupakan hasil pemilihan umum. Hal itu selaras dengan perubahan Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai pemi­lihan pre­si­den dan wakil presiden serta anggota lembaga perwakilan  yang dipilih oleh rakyat.

Perubahan yang dilakukan secara bertahap dan siste­ma­tis dalam empat kali perubahan, yaitu Per­ubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat, harus dipahami bahwa per­ubahan tersebut merupakan satu rangkaian dan satu sistem kesatuan.

Perubahan dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang di­se­pakati oleh semua fraksi MPR, kemu­dian dilan­jutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan.

Per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perta­ma kali dilaku­kan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang meng­hasilkan Perubahan Pertama. Se­telah itu, dilanjutkan de­ngan Per­ubah­an Kedua pada Sidang Ta­hunan MPR tahun 2000, Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada Si­dang Tahunan MPR tahun 2002.

Dasar pemikiran yang melatarbela­kangi dilaku­kannya perubahan Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, an­ta­ra lain, sebagai berikut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membentuk struk­tur ketatanegaraan yang bertumpu pada ke­kuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepe­nuh­nya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu ber­akibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and ba­lances) pada institusi-institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci yang menyebabkan ke­kuasaan pemerintahan negara se­akan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membe­rikan ke­kua­saan yang sangat besar kepada peme­gang ke­kuasaan eksekutif (presiden). Sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dominan eksekutif (exe­cu­tive heavy,) yakni kekuasaan dominan berada di tangan presiden. Pada diri presiden terpusat ke­kuasa­an men­jalankan pemerintahan (chief execu­tive) yang dileng­kapi dengan ber­bagai hak kons­ti­tu­sional yang lazim disebut hak prerogatif (an­tara lain mem­beri grasi, amnesti, abo­lisi, dan rehabi­li­tasi) dan ke­kuasaan legislatif ka­rena me­mi­liki kekuasaan mem­bentuk undang-undang. Hal itu tertulis jelas dalam Penjelasan Un­dang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi Presi­den ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dua ca­bang ke­kuasaan ne­ga­ra yang seha­rusnya di­pisahkan dan dijalankan oleh lembaga ne­gara yang berbeda te­ta­pi nyatanya ber­ada di satu tangan (Pre­siden) yang me­nyebabkan tidak bekerjanya prin­sip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) dan berpotensi mendorong lahir­nya kekuasaan yang otoriter.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehing­ga dapat me­nim­bulkan lebih dari satu taf­siran (mul­titaf­sir), misalnya Pasal 7 Undang-Un­dang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah) yang ber­bu­nyi “Presi­den dan Wakil Pre­siden memegang jabat­annya sela­ma masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipi­lih kembali”. Rumusan pasal itu dapat di­taf­sir­kan lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih ber­kali-kali dan tafsir kedua adalah bah­wa pre­si­den dan wakil presiden hanya boleh me­mang­ku ja­batan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak bo­leh dipilih kembali. Contoh lain ada­lah Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah) yang ber­bu­nyi “Pre­siden ialah orang In­donesia asli”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan penje­lasan dan mem­be­rikan arti apakah yang dimaksud dengan orang Indonesia asli. Akibatnya rumusan itu membuka taf­siran bera­gam, antara lain, orang Indonesia asli adalah war­ga negara Indonesia yang lahir di Indo­nesia atau warga ne­gara Indonesia yang orang tua­nya adalah orang Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terlalu ba­nyak mem­­berikan kewenangan kepada kekuasaan Presi­den untuk mengatur hal-hal penting dengan un­dang-undang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 me­ne­tapkan bahwa Presiden juga memegang ke­kuasa­an legislatif sehingga Presiden dapat meru­mus­kan hal-hal penting sesuai dengan ke­hen­daknya da­lam undang-undang. Hal itu me­nye­­bab­kan peng­aturan me­nge­nai MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), HAM, dan pemerin­tah daerah disusun oleh kekuasaan Presiden dalam bentuk peng­ajuan rancangan un­dang-un­dang ke DPR.

Rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang se­mangat pe­nyelenggara negara belum cukup di­dukung ketentuan kon­stitusi yang memuat aturan dasar tentang kehi­dupan yang demokratis, supre­masi hukum, pem­berdayaan rak­yat, penghor­mat­an hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang bagi ber­kem­­bangnya prak­tik pe­nye­lenggaraan negara yang tidak se­suai dengan Pembukaan Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain, sebagai berikut.

Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antar­lem­baga negara dan kekuasaan terpusat pada Pre­­siden.

Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi for­mal karena seluruh proses dan tahapan pe­lak­sanaannya dikuasai oleh pemerintah.

Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem mono­poli, oligopoli, dan monopsoni.

Tujuan Perubahan UUD 1945

Tujuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk:

menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila;

menyempurnakan aturan dasar mengenai jamin­an dan pelak­sa­naan kedaulatan rakyat serta mem­perluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan per­kembangan pa­ham demokrasi;

menyempurnakan aturan dasar mengenai jamin­an dan per­lin­dungan hak asasi manusia agar se­suai dengan per­kem­bangan paham hak asasi ma­nusia dan per­adaban umat manusia yang seka­ligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan ne­gara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, dan pem­ben­tukan lembaga-lembaga ne­ga­ra yang baru untuk mengakomodasi perkem­bangan kebu­tuhan bang­sa dan tantangan zaman;

menyempurnakan aturan dasar mengenai jamin­an konstitusional dan kewajiban negara mewu­judkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehi­dupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan so­li­daritas dalam kehidupan bermasyarakat, ber­bang­sa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan ne­gara sejahtera;

melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi ne­gara dan perjuangan negara mewujudkan demok­rasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pe­mi­lihan umum;

menyempurnakan aturan dasar mengenai kehi­dup­­an bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkem­bangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bang­­­sa dan negara Indonesia dewasa ini seka­li­gus mengakomodasi kecen­de­rungannya untuk ku­­run waktu yang akan da­tang.

Dasar Yuridis Dan Kesepakatan Dasar Dalam Perubahan UUD 1945

Dasar Yuridis Perubahan UUD 1945

MPR me­lakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 de­ngan berpe­doman pada ketentuan Pa­sal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur prose­dur per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah yang menjadi objek perubahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Ne­gara Nomor 75 Tahun 1959.

Sebelum melakukan perubahan Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 men­ca­but Ke­te­tapan MPR Nomor IV/ MPR/1983 tentang Refe­ren­dum yang meng­­haruskan terle­bih dahulu penye­lenggaraan refe­ren­dum secara na­sional de­ngan persyaratan yang de­mi­kian sulit sebe­lum dila­kukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh MPR. Putusan Ma­je­lis itu sejalan dengan kehendak untuk melaku­kan per­ubah­an Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menggu­na­kan aturan yang ada di dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri, yaitu Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tentang tata cara per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak sesuai de­ngan cara per­ubah­an seperti yang diatur pa­da Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945

Tuntutan perubahan Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada awal era reformasi (pertengahan ta­hun 1998) terus berkembang, baik oleh ma­sya­ra­kat, pemerintah maupun  oleh kekuatan sosial politik, ter­masuk partai politik. Tuntutan itu kemu­dian diper­juangkan oleh fraksi-fraksi MPR.

Selanjutnya, MPR membentuk Badan Pekerja MPR untuk melaksanakan tugas mempersiapkan ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan Pekerja MPR kemudian membentuk Panitia Ad Hoc III (pada masa sidang tahun 1999) dan Pa­nitia Ad Hoc I (pada masa sidang tahun 1999-2000, tahun 2000-2001, tahun 2001-2002, dan tahun 2002-2003).

Rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk pertama kalinya dipersiapkan oleh Pa­nitia Ad Hoc III Badan Pekerja dalam waktu yang sangat singkat. Namun, proses dan persiapannya te­lah berlangsung lama sebelumnya.

Dengan tekad, semangat, dan komit­men serta ke­bersamaan seluruh fraksi MPR serta du­kungan yang demikian besar dari masyarakat, peme­rintah, dan berbagai komponen bangsa lainnya, dalam jang­ka waktu yang singkat Panitia Ad Hoc III telah meru­muskan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah hasil kerja Panitia Ad Hoc III tersebut diambil putusan dalam rapat Badan Pekerja MPR, materi rancangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut di­aju­kan kepada Sidang Umum MPR tahun 1999 untuk dibahas dan diambil putusan. Dalam forum permu­syawaratan tersebut MPR telah meng­hasilkan putus­an berupa Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam rapat-rapat Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR masa sidang 1999 sebelum sam­pai pa­da kesepakatan mengenai materi ran­cangan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dise­pakati dua hal, yaitu kesepakatan untuk lang­sung mela­ku­kan per­­ubahan tanpa menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terlebih dahulu dan kesepakatan dasar antar­fraksi MPR dalam melakukan perubahan Un­dang-Undang Dasar.

Sebelum memulai pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc III terle­bih dahulu melakukan rapat de­ngar pendapat umum (RDPU) dengan beberapa pakar hu­kum tata negara untuk membahas topik apakah perlu menetapkan ter­lebih dahulu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum melakukan perubahan ataukah langsung melakukan perubahan tanpa harus menetapkan terlebih dahulu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada rapat dengar pendapat umum ter­sebut mun­­cul dua pendapat pakar hukum tata negara. Di satu pihak ada pendapat bah­wa sebelum dilakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terlebih dahulu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus ditetap­kan se­suai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pihak lainnya berpen­dapat bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu ditetapkan, tetapi lang­sung saja dilakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan diskusi mendalam mengenai hal itu dan setelah mendengarkan masukan dari pakar hukum tata negara, Panitia Ad Hoc III me­nye­pakati langsung mela­kukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan berlaku dengan Dekrit Presi­den 5 Juli 1959. Selanjutnya, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh MPR dengan mem­pergunakan ke­ten­tuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ada­lah prestasi dan simbol perjuangan serta kemer­dekaan bangsa dan negara Indonesia se­kaligus men­jadi hu­kum dasar tertulis, dalam mela­kukan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, frak­si-fraksi MPR perlu menetapkan kese­pakatan dasar agar per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mem­pu­nyai arah, tu­juan, dan batas yang jelas. Dengan de­mikian, dapat di­cegah kemungkinan ter­jadinya pem­bahasan yang melebar ke mana-mana atau terjadinya per­ubahan tan­pa arah. Selain itu, perubahan yang dilakukan meru­pakan penjabaran dan penegasan cita-cita yang ter­kandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesepakatan dasar itu menjadi koridor dan plat­form dalam mela­kukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada saat itu, fraksi-fraksi MPR juga menye­pa­kati bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyangkut dan tidak mengganggu eksis­tensi ne­gara, tetapi untuk memperbaiki dan me­­nyempurnakan penye­leng­garaan negara agar le­bih demokratis, seperti disempurnakannya sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) dan disempurnakannya pasal-pasal me­ngenai hak asasi manusia. Konse­kuensi dari kesepakatan itu adalah perubahan dila­kukan terhadap pasal-pasal, bukan terhadap Pem­bukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di te­ngah proses pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I menyu­sun kesepakatan da­sar ber­kaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri atas lima butir, yaitu:

tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

tetap mempertahankan Negara Kesatuan Re­publik Indonesia;

mempertegas sistem pemerintahan pre­sidensial;

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh);

melakukan perubahan dengan cara adendum.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 me­muat dasar filosofis dan dasar normatif yang men­dasari seluruh pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  me­ngandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Re­pu­blik Indonesia (NKRI), tujuan (ha­luan) negara ser­ta dasar negara yang harus tetap dipertahankan.

Kesepakatan untuk tetap mempertahankan ben­­­­­tuk negara kesatuan yakni Negara Kesatuan Re­pub­lik Indonesia (NKRI) didasari pertimbangan bahwa nega­ra kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia dan dipan­dang pa­ling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bang­sa yang majemuk ditin­jau dari berbagai latar be­lakang.

Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial bertujuan un­tuk memper­kukuh sistem peme­rin­tah­an yang stabil dan demok­ratis yang dianut oleh negara Republik Indonesia dan pada tahun 1945telah dipilih oleh pendiri negara ini.

Kesepakatan dasar lainnya adalah memasukkan Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang me­muat hal-hal nor­matif ke dalam pasal-pasal (Ba­tang Tu­buh). Peniadaan Penje­lasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk menghin­darkan kesulitan da­lam me­nen­­tukan status “Penjelasan” dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pen­je­lasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan pro­duk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Ke­mer­dekaan Indonesia (BPUPKI) atau Panitia Per­siap­an Kemerdekaan Indonesia (PPKI) karena kedua lem­baga itu menyu­sun rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa Pen­jelasan.

Kesepakatan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan dengan cara adendum. Artinya per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu di­lakukan de­ngan tetap mempertahankan naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terdapat dalam Lem­baran Negara Nomor 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diletakkan me­le­kat pada naskah asli.

Proses Perubahan UUD 1945

Awal Perubahan UUD 1945

Tuntutan reformasi yang menghendaki agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah, sebenarnya te­lah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum per­musya­waratan MPR yang pertama kalinya dise­leng­garakan pada era reformasi tersebut, MPR telah me­nerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi telah menyentuh muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tentang referendum itu  menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dilakukan referendum nasional untuk itu, yang disertai dengan persyaratan yang demikian sulit.

Kedua, Ketetap­an MPR Nomor XIII/MPR/ 1998 tentang Pem­­batasan Masa Jabatan Presiden dan Wa­kil Presi­den Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 berbunyi “Pre­siden dan Wakil Presi­den Republik Indonesia me­me­gang ja­batan selama masa lima tahun, dan se­su­dahnya dapat dipilih kem­bali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Keten­tuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut, secara subs­tansial se­sungguhnya telah mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni mengubah ketentuan Pasal 7 yang ber­bu­nyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang ja­bat­annya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Terbitnya Kete­tap­an MPR itu juga dapat dilihat sebagai  penyem­pur­naan ketentuan menge­nai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seperti Pasal 27; Pasal 28; Pasal 29 ayat (2).

Terbitnya Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/ 1998, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998, dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dapat dika­takan sebagai langkah awal bangsa Indo­nesia dalam mela­kukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setelah terbitnya tiga ketetapan MPR terse­but, kehendak dan kesepakatan untuk melakukan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 makin meng­kris­tal di kalangan masyarakat, pemerin­tah, dan ke­kuat­an sosial politik, termasuk partai politik.

Pasca penye­lenggaraan Sidang Istimewa MPR tahun 1998 fraksi-fraksi MPR makin intensif membahas per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Frak­si-fraksi MPR memiliki kesamaan aspirasi dan sikap politik di dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni mengutamakan kepen­tingan ne­gara dan bangsa di atas kepentingan partai politik dan kelom­pok atau golongan.

Suasana pada waktu itu sung­guh-sungguh diliputi oleh kehendak dan tuntutan ber­sama berbagai kom­ponen bangsa untuk melakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbagai kom­ponen bangsa yang berasal dari aspirasi dan paham politik, ras, aga­ma, suku, dan golongan yang beragam itu bersatu pa­du untuk secara bersama-sama dan konstitusional me­laku­kan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai kehendak kolektif bang­sa agar dapat mewu­judkan masa depan yang lebih baik.

Suasana yang dibangun secara sistematis dan pe­nuh kesadaran tersebut, baik di kalangan masya­ra­kat, pemerintah, kekuatan sosial politik, termasuk par­tai-partai politik sa­ngat mendukung ber­kem­bang­nya komit­men, kesepahaman, per­sau­­da­ra­an, dan tole­ransi antarfraksi MPR. Suasana itu sangat me­mu­dahkan dan memperlancar ter­ca­painya kesepa­katan antarfraksi MPR dalam pem­­bahasan materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kuatnya komitmen, kesepa­ham­an, persauda­ra­an, dan toleransi antarfraksi MPR itu terlihat dari kebersamaan fraksi-fraksi MPR dalam pembahasan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam forum rapat-rapat Panitia Ad Hoc, rapat-rapat Badan Pekerja MPR maupun dalam si­dang-sidang MPR. Pada forum rapat-rapat Panitia Ad Hoc dan Badan Pekerja MPR itu, perbedaan pen­dapat antarfraksi MPR diberi ruang. Hal itu terlihat dari ada­nya beberapa rumusan alternatif materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disam­paikan ke tingkat pembicaraan berikutnya, yak­ni pa­da sidang-sidang MPR.

Begitu pula dalam sidang-sidang MPR, peng­am­bilan putusan terhadap materi rancangan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap lebih menge­depankan kebersamaan. Hal itu terlihat dari peng­am­bilan putusan terhadap materi rancangan perubahan dilakukan secara aklamasi. Terhadap ma­teri rancangan perubahan yang belum disepakati oleh semua fraksi dalam sidang MPR, diputuskan untuk di­bahas kembali pada forum rapat Panitia Ad Hoc I dan Badan Pekerja MPR untuk selanjutnya diajukan kembali pada sidang MPR berikutnya. Dari semua ma­teri rancangan perubahan yang diajukan pada si­dang MPR,  hanya satu materi yang peng­ambilan pu­tus­­annya dilakukan melalui meka­nis­me pe­mu­ngutan suara (vo­ting), yaitu materi ten­tang susunan keanggotaan MPR [Pa­sal 2 ayat (1)].

Badan Pekerja MPR yang merupakan alat ke­lengkapan MPR membentuk Panitia Ad Hoc III (pa­da masa sidang tahun 1999) dan Panitia Ad Hoc I (pada masa sidang tahun 1999-2000, tahun 2000-2001, tahun 2001-2002, dan tahun 2002-2003) untuk membahas rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Panitia Ad Hoc itu terdiri atas wakil-wakil fraksi MPR yang jum­lahnya mencerminkan perim­bangan jumlah kursi yang dimilikinya di MPR. Anggota Panitia Ad Hoc III maupun Panitia Ad Hoc I berjumlah 45 orang.

Partisipasi Publik

Partispasi publik dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Badan Pekerja MPR menyadari pentingnya partisipasi publik dalam mewujudkan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu, Badan Pekerja MPR melalui alat kelengkapannya, yakni Panitia Ad Hoc I, menyu­sun secara sistematis program partisipasi publik, an­tara lain dengan melakukan penyerapan aspirasi ma­sya­rakat. Bentuk kegiatannya antara lain, berupa rapat dengar pendapat umum (RDPU), kun­jungan kerja ke daerah, dan seminar. Oleh kare­na waktu yang ter­sedia sangat singkat, yakni hanya satu minggu, Panitia Ad Hoc III hanya melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) de­ngan bebe­rapa pakar hukum tata negara saja.

Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, berbagai ka­langan masyarakat dan instansi negara/pemerintah memberikan masukan, pendapat, dan ikut serta dalam diskusi yang intensif dengan Panitia Ad Hoc I. Kalangan masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan itu, antara lain, para pakar, pihak per­gu­ruan tinggi, asosiasi keilmuan, lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Selain itu, Panitia Ad Hoc I juga menyelenggarakan diskusi terbatas untuk membahas beberapa topik yang ber­kaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Da­lam diskusi terbatas itu berbagai kelompok ma­sya­rakat menjadi peserta dan memberikan masukan serta tang­gapan terhadap pemaparan para pakar yang dipandang ahli di bidangnya.

Panitia Ad Hoc I juga menye­leng­garakan semi­nar di berbagai daerah dengan topik beberapa aspek ke­hidupan yang ber­kaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, an­tara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, agama dan sosial budaya, serta hukum.

Selain melakukan berbagai kegiatan tersebut, Pa­nitia Ad Hoc I melakukan studi banding ke luar negeri dan membentuk tim ahli yang terdiri atas sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu (antara lain politik, hukum, ekonomi). Beberapa negara yang dikunjungi Panitia Ad Hoc I untuk kegiatan studi banding, antara lain Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Denmark, Repub­lik Rakyat Cina, Jepang, Rusia, dan Malaysia.    

Panitia Ad Hoc I juga melakukan studi ke­pus­takaan dengan mempelajari naskah konstitusi ne­gara-negara lain. Untuk itu, tercatat lebih dari 30 naskah kons­titusi yang dikaji secara mendalam dan kritis. Selain itu, Panitia Ad Hoc I juga menerima kun­­jungan komisi konstitusi dari tiga negara, yaitu Thai­land, Korea Selatan, dan Jerman. Thailand dan Korea Se­lat­an memiliki kesamaan dengan Indonesia yakni sa­ma-sama melakukan perubahan undang-undang dasar negara setelah memasuki era baru peme­rintahan yang lebih demokratis. Panitia Ad Hoc I dan komisi konstitusi dari ketiga negara berdiskusi secara mendalam mengenai berbagai hal yang berterkaitan de­ngan perubahan undang-undang dasar. Pengalaman negara lain dalam melakukan perubahan undang-undang dasarnya sangat penting bagi Pa­nitia Ad Hoc I dalam mempersiapkan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Seiring dengan  kegiatan penyerapan aspirasi masyara­kat oleh Panitia Ad Hoc I, fraksi-fraksi MPR dan par­tai politik yang mem­punyai wakil di MPR juga secara bersamaan memberikan kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu dilakukan de­ngan cara menerima berbagai delegasi masyarakat ataupun perseorangan yang menyampaikan aspirasinya. Kegiatan penyerapan aspirasi masya­rakat dilakukan, baik di pusat maupun di daerah. Kegiatan pe­nyerapan aspirasi masyarakat mencapai ratusan kali diselenggarakan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Fraksi-fraksi MPR dan par­tai-partai politik tetap me­la­ku­kannya kegiatan itu bukan ha­nya selama masa sidang Pa­nitia Ad Hoc I, tetapi juga dalam masa sidang-sidang MPR.

Masih berkaitan dengan penyerapan aspirasi ma­syarakat, partai politik, fraksi-fraksi MPR, dan Panitia Ad Hoc III yang dilanjutkan oleh Panitia Ad Hoc I, secara serius terus menerus mengikuti dan men­cermati berbagai gagasan dan aspirasi masya­rakat sehubungan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang muncul di ruang publik, terutama melalui media mas­sa, baik cetak maupun elektronik.

Berkaitan dengan upaya sosialisasi pem­bahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta partisipasi publik yang lebih luas, Panitia Ad Hoc I yang didukung oleh Sekretariat Jen­deral MPR menjalin kerja sama dengan stasiun TV pemerintah, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan beberapa stasiun televisi swas­ta di tanah air. Kerja sama tersebut berwujud pe­na­yangan program siaran dengan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik berupa siaran langsung mau­­pun siaran tunda. Penayangan program siaran itu di berbagai sta­siun TV sangat mendukung kegiatan Panitia Ad Hoc I di dalam menyebarluaskan pemba­hasan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke berbagai ka­langan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat me­­­ngetahui dan memahami secara lebih lengkap dan se­kaligus mendorong peningkatan partisipasi publik da­lam memberikan masukan dan tanggapan kepada Panitia Ad Hoc I terhadap materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sedang dibahas.

Dinamika Pembahasan

Dinamika Pembahasan pro­ses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada era reformasi dimulai dengan peman­dangan umum fraksi-fraksi MPR dalam rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000. Dalam peman­dangan umum­ itu, fraksi-fraksi MPR menya­takan sikapnya secara tegas untuk melakukan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan meng­aju­kan usul-usul materi perubahan, termasuk latar belakang, maksud dan tujuan serta implikasinya.

Selanjutnya pem­bahasan lebih rinci dilakukan di tingkat Panitia Ad Hoc III yang diawali dengan pengantar musya­warah fraksi-fraksi MPR. Setelah dilakukan pemba­hasan, hasil kerja Panitia Ad Hoc III dibahas dan diam­bil putusan pada rapat Badan Pe­kerja MPR masa sidang tahun 1999-2000, dilan­jutkan dengan diajukan ke Sidang Umum MPR tahun 1999 untuk dibahas dan diambil putusan. Sete­lah me­lalui pembahasan yang mendalam, pada fo­rum permusyawaratan ter­sebut, MPR mengesahkan Per­ubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengingat waktu yang tersedia untuk mela­ku­kan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan MPR mela­kukan perubahan sesuai dengan dinamika dan aspi­rasi masyarakat, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999 tersebut menerbitkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1999 tentang Penugasan Ba­dan Pekerja MPR RI untuk Mem­persiapkan Ran­cangan Perubahan Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR itu tidak dipersiapkan oleh Pa­nitia Ad Hoc III, tetapi dirumuskan dalam Sidang Umum MPR tahun 1999. Ketetapan MPR itu diter­bit­kan karena perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada sidang MPR saat itu dirasakan baru me­me­­nuhi sebagian tuntutan dan aspirasi masyara­kat dan baru mencakup sebagian dari rancangan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diusul­kan fraksi-fraksi MPR. Kete­tapan MPR itu menjadi dasar hukum bagi Badan Pekerja MPR untuk me­lanjutkan pembahasan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada Sidang Umum MPR ta­hun 1999, Komisi C Majelis menyepakati cara pe­nulisan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan dalam bentuk adendum. Cara pe­nu­lisan itu kemudian men­jadi acuan dalam penulisan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya.

Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, maka pasca Sidang Umum MPR tahun 1999, pemba­hasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilanjutkan oleh Badan Pekerja MPR masa sidang 1999-2000 melalui alat keleng­kapannya, yaitu Panitia Ad Hoc I.

Panitia Ad Hoc I mempunyai waktu lebih pan­jang sehingga secara lebih intensif dapat mela­kukan pembahasan ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil kerja Panitia Ad Hoc I itu kemudian di­putuskan dalam sidang Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000 yakni berupa ma­teri ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi perubahan itu selanjutnya dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 dengan hasil berupa Per­ubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena tidak seluruh materi rancangan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah di­per­siapkan Badan Pekerja MPR dapat diambil pu­tusan pada fo­rum permusyawaratan Majelis ter­sebut, MPR pada sidang itu juga mener­bit­kan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Ba­dan Pekerja MPR RI untuk Mem­persiapkan Ran­cangan Perubah­an Undang-Un­dang Dasar Negara Republik Indo­nesia Tahun 1945. Kete­tapan MPR itu disertai lam­pir­an yang menjadi bagian tak ter­pi­sah­kan dari kete­tapan MPR tersebut. Lampiran  itu berupa Materi Ran­cangan Per­ubahan Undang-Un­dang Dasar Nega­ra Republik In­do­nesia Tahun 1945  Hasil Badan Pe­kerja MPR RI Tahun 1999-2000.

Terbitnya ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tersebut dimak­sud­kan untuk menjadi dasar hukum bagi pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjut­nya. Lampiran Kete­tapan MPR tersebut men­jadi acuan bagi Badan Pekerja MPR yang kemudian ditugaskan kepada Panitia Ad Hoc I, untuk melan­jut­kan pem­ba­hasan perubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 da­lam rapat-rapatnya selama  masa sidang ta­hun 2000-2001 dan sete­rus­nya sampai diputuskannya semua materi rancangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut oleh MPR, yang berpuncak pada Si­dang Tahunan MPR tahun 2002.

Pada tanggal 18 Agustus 2000, bersamaan de­ngan diputuskannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rapat Paripurna Majelis pada Si­dang Tahunan MPR tahun 2000  menyepakati un­tuk mem­bakukan penyebutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setelah melalui pembahasan yang mendalam, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2000-2001 menyepakati beberapa materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terlampir dalam Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000. Materi itu kemudian diajukan kepada rapat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2000-2001 untuk dibahas dan diambil putusan. Se­lanjutnya, materi rancangan perubahan yang telah diputuskan oleh Badan Pekerja MPR itu diajukan untuk dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001. MPR dalam fo­rum permusyawaratan ter­sebut, sete­lah melalui pem­bahasan yang panjang dan men­dalam, me­ngesah­kan Per­ubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengingat masih terdapat materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang belum diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 sebagaimana terdapat dalam lampiran Ketetap­an MPR Nomor  IX/MPR/2000, MPR pada Sidang tahunan MPR tahun 2001 tersebut juga menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/2001 tentang Per­ubah­an atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Un­dang-Un­dang Dasar Negara RI Tahun 1945. Kete­tapan MPR Nomor XI/MPR/2001 juga dilengkapi lam­piran yang merupakan bagian tak terpisahkan da­ri ketetap­an MPR itu yaitu Materi Rancangan Per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan MPR itu menjadi dasar hukum bagi Badan Pekerja MPR masa sidang 2001-2002 untuk melanjutkan pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan Pekerja MPR ke­mu­dian membentuk Panitia Ad Hoc I yang secara in­tensif membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terdapat da­lam lampiran Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/ 2001.

Setelah melalui pembahasan yang mendalam, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2001-2002 menyepakati materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang masih belum diambil putusan pada tiga sidang MPR se­belumnya. Materi ini kemudian diajukan kepada ra­pat Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2001-2002 untuk dibahas dan diambil putusan. Selan­jut­nya, materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diputuskan oleh Badan Peker­ja MPR itu diajukan untuk dibahas dan diambil pu­tusannya dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Dalam fo­rum permusyawaratan tersebut, sete­lah me­la­lui pem­bahasan yang mendalam, MPR me­nge­sahkan Per­ubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berkaitan dengan proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fraksi-fraksi MPR dan partai politik juga se­cara intensif melaku­kan perte­muan internal untuk lebih meneguhkan kon­solidasi di da­lam dirinya sehubungan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula sering dilakukan pertemuan atau lobi antarfraksi MPR dan antarpartai politik. Pertemuan atau lobi tersebut sangat besar pe­ranannya dalam mendekatkan sikap atau pendapat yang ber­beda, meminimalikan, bahkan menghi­langkan per­bedaan sikap dan penda­pat antarfraksi MPR atau antar­partai politik berkaitan dengan pem­bahasan materi per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Se­lain itu Komisi A Majelis yang bertugas mem­­­bahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada beberapa si­dang MPR juga membentuk tim perumus. Pembentukan tim itu di­mak­­sudkan untuk mendalami lebih lanjut materi yang menjadi pemba­hasan serta sedapat mungkin merumuskan kesepakatan mengenai materi rancang­an perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang masih memiliki perbedaan rumusan diantara fraksi MPR.

Dalam kaitan dengan upaya mendalami dan menca­pai kesepakatan mengenai materi rancangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jika dipandang perlu, tim perumus yang dibentuk Komisi A Majelis me­ngundang para pakar di bi­dang­nya guna memperoleh masukan. Bebe­rapa mate­ri yang dibahas tim perumus dengan me­ngundang pa­kar, antara lain, mengenai wilayah negara dan hak asasi manusia.

Pertemuan atau lobi sangat sering berhasil mem­perlancar pembahasan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama dengan dica­pai­nya kese­pakatan antarfraksi MPR mengenai ber­bagai materi ran­cangan per­ubahan yang sebelumnya masih berbeda rumusannya (masih menggunakan rumusan alternatif) serta alot pem­bahasannya. Beberapa materi rancangan per­ubah­­an yang berhasil diselesaikan melalui pertemuan atau lobi, antara lain materi mengenai hak asasi manusia (HAM), wilayah negara, pemilihan presiden secara langsung, perekonomian nasional, dan per­ubahan Undang-Undang Dasar.

Dari proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, dapat diketahui bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh MPR da­lam satu kesatuan perubahan yang dilaksanakan da­lam empat tahapan perubahan. Hal itu terjadi karena ma­teri rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah disusun secara sistematis dan lengkap pa­da masa pem­bahasan di tingkat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 1999-2000. Tidak seluruhnya dapat dibahas dan diambil putusan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Untuk itu pembahasan dan pengambilan putusan dilanjutkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 dan baru dapat dituntaskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002.  Hal itu ber­arti bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan secara siste­matis-berkelanjutan ka­rena senantiasa mengacu dan berpe­dom­an pada ma­teri rancangan yang telah disepakati pada Sidang Tahun­an MPR tahun 2000.

Tingkat-tingkat Pembicaraan

Proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengikuti ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi sidang MPR. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagai­mana tercantum dalam ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib adalah sebagai berikut.

Tingkat I

Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terha­dap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan pu­tusan Majelis sebagai bahan pokok Pem­bi­caraan Tingkat II.

Tingkat II

Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanju­t­kan dengan Pemandangan Umum Frak­si-fraksi.

Tingkat III

Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Ma­jelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II.

Hasil pembahasan pada Tingkat III ini me­ru­pakan rancangan putusan Majelis.

Tingkat IV

Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Ma­jelis setelah mendengar laporan dari Pim­pinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bila­mana per­­lu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.

Proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkaitan dengan tingkat-tingkat pem­bi­caraan se­suai dengan ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR dapat diuraikan sebagai berikut.

Pembicaraan Tingkat I

Pada Pembicaraan Tingkat I Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR pa­da masa Sidang Ta­hun­an MPR tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002, kecuali Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR pada masa Sidang Umum MPR tahun 1999 ka­rena keter­ba­tasan waktu, sebagai salah satu alat kelengkapan Badan Pe­kerja MPR yang ditu­gas­i untuk mem­­per­siap­kan ran­cang­an per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Panitia itu memulai tugas­nya de­ngan me­la­­kukan ke­giatan pe­nyerapan aspi­rasi masya­rakat dengan kegiatan sebagai berikut.

Rapat Dengar Pendapat Umum

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR me­la­ku­kan rapat dengar pen­­­dapat umum dengan berbagai kalangan ma­syarakat (seperti para pakar, pihak pergu­ruan tinggi, asosiasi ke­ilmuan, lem­baga pengkajian, organisasi ke­ma­sya­­ra­kat­­an, dan LSM) dan berbagai lem­baga nega­ra/pemerintah.

  Dalam kegiatan yang dilakukan berulang kali tersebut, berbagai kelompok memberikan ma­sukan dan tanggapan se­cara kri­tis dan objek­tif berkaitan dengan ran­cangan per­ubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masuk­an dan tang­gapan tersebut men­jadi bahan bagi Pa­ni­tia Ad Hoc I dalam melakukan pem­bahasan terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kunjungan kerja ke daerah

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR  me­la­kukan kunjungan ker­ja ke daerah (baik ke ting­kat provinsi, maupun ke tingkat kabu­pa­ten dan kota) berulang kali untuk ber­dialog dengan ber­ba­gai kalangan masyarakat (seper­ti perguruan ting­gi, LSM, organisasi ke­ma­syarakatan, dan to­koh masyarakat) dan ber­bagai lem­baga nega­ra/pemerintah.

Dalam kegiatan itu berbagai kelompok yang ada di daerah memberikan ma­sukan dan tanggapan se­cara kri­tis dan objek­tif ber­kaitan dengan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masukan dan tanggapan tersebut men­jadi bahan bagi Panitia Ad Hoc I dalam melakukan pem­bahasan terhadap ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Seminar

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR me­nye­­­lenggarakan bebe­ra­­pa kali seminar deng­an berbagai topik perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengikutsertakan berba­gai kalangan masya­rakat (seperti para pakar, perguruan tinggi, asosiasi keilmuan, lem­baga peng­kajian, LSM, organisasi keaga­ma­an) dan berbagai lembaga negara/pemerintah.

Dalam kegiatan itu berbagai kalangan ter­sebut memberikan ma­sukan dan tanggapan se­cara kri­tis dan objek­tif berkaitan dengan ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masukan dan tanggapan tersebut men­jadi bahan bagi Panitia Ad Hoc I dalam me­lakukan pem­­bahasan terhadap ran­cangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Studi banding ke luar negeri

Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR  me­­la­kukan studi banding ke berbagai negara, baik negara maju mau­pun negara ber­kem­bang, untuk melengkapi ke­giatan penyerapan aspi­rasi masyarakat. Studi banding itu di­mak­­­sudkan untuk men­dalami konstitusi, kon­sep, praktik, dan pengalaman pe­nye­leng­ga­raan negara, sistem pemerin­tah­an, sis­tem ke­par­taian, penataan hukum, mahkamah kons­titusi, sistem pe­mi­lihan umum, hu­bung­an sipil-militer, im­ple­mentasi dan pro­mosi/pe­majuan hak asasi manusia di berbagai negara itu.

Dari berbagai negara di berbagai belahan du­nia (Asia, Eropa, Amerika, Afrika, Aus­tra­lia) yang dikunjungi dengan beragam sistem keta­tanegaraan, ideologi, dan budaya, serta tingkat kemaju­annya, Panitia Ad Hoc I dapat me­ningkatkan wawasan, pe­nge­tahuan, dan pe­ng­alaman ber­harga yang sa­ngat berguna da­lam melakukan pemba­has­an terhadap ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembentukan  Tim  Ahli  Panitia  Ad Hoc I Badan Pekerja MPR

Panitia Ad Hoc I  Badan Pekerja MPR mem­­bentuk Tim Ahli Panitia Ad Hoc I  Ba­dan Pe­kerja MPR yang terdiri atas se­jumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu.

Tim ahli yang menguasai berbagai disip­lin ilmu, antara lain politik, hukum, eko­no­mi, bu­daya, agama, sosiologi, dan pendi­dik­an itu memberikan masukan secara kritis dan ob­jektif dengan mengutamakan nilai-nilai ke­­be­naran serta mengutamakan kepentingan bangsa dan ne­ga­ra. Masukan dari Tim Ahli itu sangat men­dukung Panitia Ad Hoc I dalam melakukan pemba­hasan terhadap ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setelah Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (pa­da masa Sidang Ta­hun­an MPR tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002) melakukan berbagai kegiatan pe­­nye­rapan aspira­si masya­rakat yang dilengkapi de­ngan studi banding ke luar negeri, Panitia Ad Hoc I Badan Peker­ja MPR dalam ra­pat-rapatnya mulai mela­kukan pem­­­bahasan untuk me­nyu­sun materi ran­cangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahan bahasan yang digunakan dan menjadi acuan Panitia Ad Hoc III Badan Pe­kerja MPR ada­lah tuntutan dan wacana perubah­an dari ber­bagai kalangan yang muncul dan berkembang selama awal era reformasi, termasuk pada masa kampanye Pemilu 1999. Bahan bahasan tersebut tidak berasal dari kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yang sangat luas  dan studi banding ke luar negeri waktu yang tersedia bagi Panitia Ad Hoc III ha­nya tinggal  satu ming­gu.

Bahan bahasan yang digunakan dan menjadi acuan pembahasan dalam rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah

materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimuat da­lam lampiran beberapa ketetapan MPR (khu­sus untuk pembahasan rancangan Pe­rubahan Ke­dua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Ke­empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945);

materi usulan fraksi-fraksi MPR yang di­sam­paikan dalam pengantar musyawarah pa­da rapat Badan Pekerja MPR;

materi usulan lembaga negara/pe­me­rintah;

materi usulan berbagai kelompok ma­sya­rakat (pihak perguruan tinggi, ormas, pakar, LSM, lem­ba­­ga pengkajian, dan lain-lain);

materi hasil kunjungan kerja ke daerah;

materi hasil seminar;

materi usulan dari perseorangan warga ne­gara;

materi hasil studi banding ke negara-negara lain;

materi masukan dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.

Dalam melakukan pembahasan materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR menye­pakati meka­nis­me pem­bahasan sebagai berikut.

Seluruh materi termasuk materi usulan frak­si-fraksi MPR yang belum sempat di­bahas pada sidang-sidang MPR dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.

Setelah rapat pleno, dilakukan rapat peru­mus­an (dilakukan oleh Tim Perumus yang dibentuk oleh Panitia Ad Hoc I Badan Peker­ja MPR) untuk me­rumuskan materi yang telah dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, meng­inventa­ri­sasi pasal-pasal yang menjadi usul­an fraksi atau yang telah dibahas dalam si­dang-sidang MPR namun belum dipu­tus­kan serta melakukan inventarisasi perma­salahan yang disampai­kan oleh fraksi-fraksi MPR dalam pengantar musyawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.

Hasil kesepakatan Tim Perumus, selan­jut­nya dibahas pada rapat pleno dengan tu­juan un­tuk menyerasikan dan menyem­pur­na­kan ma­teri-materi yang saling terkait an­tara satu bab dengan bab lainnya, satu pasal dengan pa­sal lainnya, dan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Selain itu rapat sin­kronisasi dise­lenggarakan untuk me­rang­kum dan me­lihat kembali hal-hal yang menyang­kut per­ma­salahan dan perhatian tiap-tiap frak­si se­ba­gaimana disampaikan dalam pe­ng­antar mu­syawarah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.

Materi yang telah disinkronkan, selanjut­nya dibahas dalam rapat finalisasi dengan tujuan untuk merumuskan dan mensis­te­matiskan ma­teri rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Materi yang dihasilkan dari rapat finalisasi, selanjutnya disosialisasikan sekaligus dila­kukan uji sahih kepada berbagai kalangan ma­syarakat dan lembaga negara/peme­rin­tah. Tujuannya ialah untuk menyerap berbagai pan­­dangan, pendapat, dan tanggapan dari ber­bagai kalangan masyarakat dan lem­baga negara/pemerintah terhadap hasil rumusan rapat finalisasi.

Pembahasan berbagai pandangan, pen­da­pat, dan tanggapan dari berbagai kalangan ma­sya­­rakat dan lembaga negara/ pemerin­tah di­lakukan oleh Panitia Ad Hoc I Badan Peker­ja MPR de­ngan me­nyelenggarakan kegiatan review yang dida­hului dengan kegiatan pre-review.

Hasil kerja Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR selanjutnya di­sahkan oleh rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dan rapat Badan Pekerja MPR. Hasil kerja yang dise­pakati itu kemudian menjadi bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.

Dalam rangka pendalaman terhadap materi ran­­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR me­ngundang beberapa narasumber yang dipandang berkompeten di bi­dang materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu untuk memperlancar proses pem­ba­hasan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR me­nyelenggarakan lobi antarpimpinan fraksi MPR. Forum itu di­ge­lar untuk membahas hal-hal yang berkaitan de­ngan materi rancangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta meng­upayakan terca­painya titik temu mengenai materi yang menjadi perhatian fraksi-fraksi MPR seba­gai­mana disampaikan dalam pengantar musya­warah fraksi pada rapat Badan Pekerja MPR.

Agar bahasa yang digunakan di dalam materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan bahasa hukum, Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR meminta pendapat ahli bahasa, ahli hukum tata negara, dan ahli penulisan un­dang-undang (legal drafter).

Satu hal yang sangat penting dikemukakan da­lam pembicaraan tingkat I  adalah bahwa ber­da­sarkan ketentuan Peraturan Tata Tertib MPR, se­lama pembicaraan tingkat I oleh Panitia Ad Hoc I tidak dilakukan pemungutan suara (vo­ting). Se­mua materi dibahas secara bersama dan senan­tiasa diupa­ya­kan tercapainya ke­se­pakatan ter­hadap satu materi sehingga hanya terdapat satu rumus­an materi. Apabila sam­pai kesempatan ter­akhir tidak juga dicapai ke­sepakatan adanya satu ru­mus­an materi, rumus­an dapat terdiri atas dua alter­natif  atau lebih.

Tidak ada­nya pemungutan suara (voting) memperkuat tekad dan semangat dari Pa­nitia Ad Hoc I untuk terus mencari kesa­maan pen­­dapat sampai batas akhir pembahasan seka­li­gus meneguhkan kebersamaan dan toleran­si seluruh pimpinan dan anggota Panitia Ad Hoc I.

Agar pembahasan dan pengambilan putusan terhadap rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil kerja Panitia Ad Hoc I berjalan lancar di tingkat pembicaraan selanjutnya (pem­bi­caraan tingkat II, III, dan IV) sehingga lebih mudah disahkan men­jadi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Panitia Ad Hoc I menyusun daftar prioritas materi rancangan per­ubahan berdasarkan tingkat sensiti­vi­tas­nya. Terhadap materi yang tidak sensitif ka­rena tidak adanya perbedaan. Diantara ­fraksi MPR, materi itu menjadi prio­ritas untuk dimasukkan sebagai bagian dari hasil kerja Panitia Ad Hoc I, contohnya materi tentang pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan umum, Badan  Pe­me­riksa Keuangan, dan atribut negara. Terhadap ma­­teri yang memiliki sensitivitas tinggi karena masih adanya perbedaan yang besar di antara fraksi MPR, materi itu tidak dipaksakan untuk menjadi hasil kerja Panitia Ad Hoc I yang diajukan ke tingkat pembicaraan selanjutnya, contohnya materi tentang su­sunan dan keanggotaan MPR, wewenang MPR, pemilihan presiden secara langsung, kedudukan agama dalam negara (Pasal 29), dan wila­yah negara.

Seiring dengan berja­lannya waktu serta pende­katan dan komunikasi yang makin efektif antar­fraksi MPR di Panitia Ad Hoc I, diharapkan materi yang memiliki tingkat sensitivitas tinggi tersebut secara bertahap dapat diturunkan sensiti­vitasnya serta dapat diupayakan adanya kesamaan pen­dapat diantara semua ­fraksi MPR di Panitia Ad Hoc I.

Selain itu, Panitia Ad Hoc I juga membagi materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada dua bagian: materi yang ber­diri sendiri dan materi yang berkaitan dengan materi lain. Terhadap materi yang berdiri sendiri, Pani­tia Ad Hoc I memprioritaskan untuk menjadi ha­sil kerjanya serta diajukan ke tingkat pembi­ca­raan selanjutnya karena dipandang lebih mudah untuk dibahas dan disahkan. Con­tohnya adalah materi tentang Pemilihan Umum dan Wila­yah Negara. Adapun materi yang berkaitan dengan materi lain mendapat waktu pembahasan lebih lama (panjang) agar sedapat mungkin dapat di­capai kesepakatan terhadap seluruh materi yang berkaitan itu sebelum diajukan ke tingkat pem­bi­caraan selanjutnya. Contohnya adalah materi ten­tang susunan dan keanggotaan MPR, wewe­nang MPR, dan pemilihan presiden secara lang­sung.

Dari mekanisme pembi­caraan pada tingkat I yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I dapat ditemukan secara jelas bahwa proses pemba­has­an perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sarat dengan nilai kualitatif, yakni muncul dengan le­luasa dan tolak angsur gagas­an dan pe­mikiran muncul secara dialogis, bebas, dan kritis seka­ligus kons­truktif, serta kajian keil­muan dan studi literatur dilakukan secara intensif. 

Pembicaraan Tingkat II

Pada Pembicaraan Tingkat II dilakukan pem­ba­hasan materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh rapat pari­purna MPR pada sidang MPR yang dida­hu­lui oleh penjelasan Pimpinan MPR dan dilan­jutkan dengan pemandangan umum frak­si-fraksi MPR.

 Pembicaraan Tingkat III

Penjelasan Pimpinan MPR dan pe­man­dangan umum fraksi-fraksi MPR mengenai ma­teri ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilanjutkan dengan pemba­has­an oleh Ko­misi Ma­jelis terhadap semua hasil pembi­ca­raan ting­kat I dan tingkat II.

Komisi A MPR (Komisi C MPR pada Si­dang Umum MPR tahun 1999) se­ba­gai komisi pada sidang-sidang MPR yang mendapat tugas untuk membahas per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meng­gu­nakan rancangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil kerja Badan Pe­kerja MPR dan materi pengan­tar musyawarah fraksi-fraksi MPR yang di­sam­pai­kan pada rapat pertama Komisi A MPR. Selama pembahasan di Komisi A MPR, ter­bu­ka ke­mung­kinan mene­ri­ma masukan, tang­gap­an, dan pendapat dari ang­gota komisi.

Mekanisme pembahasan di Komisi A MPR berlangsung sebagai berikut.

Forum Rapat Pleno Komisi A MPR

Tiap-tiap fraksi MPR menyampaikan pe­ngan­tar musyawa­rah frak­si dan tiap-tiap anggota MPR diberi kesem­patan untuk membahas ma­teri ran­cangan per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Forum Lobi

Forum lobi adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A un­tuk membicarakan substansi materi ran­cangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkembang dalam forum rapat pleno. Keanggotaan forum lobi terdiri atas Pim­pin­an Komisi A dan wakil dari setiap fraksi.

Forum Rapat Tim Perumus

Forum rapat tim perumus adalah forum yang dibentuk oleh Komisi A MPR un­tuk membahas dan merumuskan ran­cang­an perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk penyempurnaan redaksional rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi A meminta pendapat ahli ba­hasa, ahli hukum tata negara, dan ahli penulisan undang-undang.

Pembicaraan Tingkat IV

Hasil kerja Komisi A MPR kemudian di­pu­tus­kan/ditetapkan oleh rapat paripurna MPR se­telah men­dengar laporan dari Pimpinan Ko­misi dan bila­mana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi MPR.

Terhadap ma­teri hasil pembicaraan tingkat III yang dise­pakati, putusan diambil dengan cara aklamasi, sedangkan terha­dap materi hasil pem­bicaraan tingkat III yang tidak disepakati, pu­tus­an diambil dengan cara pemungutan suara (vo­ting).

Putusan terhadap rancangan materi perubah­an Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan de­ngan cara pe­mu­ngutan suara karena sampai saat terakhir menje­lang pengam­bilan putusan tidak dicapai kese­pa­katan frak­si-fraksi MPR sehingga masih terdapat le­bih dari  satu rumusan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Pemungutan suara dila­kukan berdasar­kan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum di­ubah), yaitu:

Untuk mengubah Undang-Undang Dasar se­ku­rang-kurangnya 2/3 daripada jumlah ang­gota Ma­jelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.

Putusan diambil dengan persetujuan seku­rang-ku­rangnya 2/3 daripada jumlah ang­gota yang hadir.

Dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibahas dalam  empat kali sidang MPR sejak tahun 1999 sampai dengan 2002, hampir seluruh materi ran­cangan perubah­an dise­tujui dengan cara aklamasi setelah sebe­lum­nya di­lakukan pembahasan sangat menda­lam, kritis, dan objektif. Hal ini menunjukkan keberhasilan da­ri seluruh anggota MPR dan fraksi-fraksi MPR serta dalam arti luas seluruh bangsa Indonesia ka­rena telah berhasil menya­ma­kan persepsi dan materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari puluhan materi yang dibahas dan dipu­tuskan dalam empat sidang MPR, hanya satu ma­te­ri saja yang diputuskan dengan ca­ra pemungutan suara yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai susunan keang­go­taan MPR, yang terdiri atas dua alternatif sebagai berikut.

Alternatif 1

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang di­pilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan utusan go­longan yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya diatur oleh undang-undang.

 Alternatif 2

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang di­pilih melalui pemilihan umum dan diatur le­bih lanjut dengan undang-undang.

Pada pemungutan suara tersebut, mayo­ritas anggota MPR memilih alternatif 2, yaitu sebanyak 475 anggota MPR, sedangkan alternatif 1 dipilih 122 anggota MPR, dan 3 anggota MPR memilih abstain.

Dari proses pengambilan putusan yang me­ng­utamakan cara aklamasi dibanding pemu­ngutan suara tersebut, dapat disimpulkan bahwa kuatnya semangat dan ikatan kebersamaan, keke­luargaan, persahabatan, persaudaraan, serta to­leransi dan jiwa besar antar­anggota MPR. Se­mangat dan ikatan luhur itu melam­paui kera­gaman paham dan sikap antar­fraksi MPR sebe­lumnya, pada awal-awal pem­ba­hasan.

Semangat kenegarawanan antar­anggota MPR itu menunjukkan besarnya hasrat dan cita-cita mem­bangun keindonesiaan yang dilan­daskan pada kera­ga­man (bhinneka) tetapi pada satu titik men­capai kesa­tuan pendapat (tunggal ika). Hal itu juga menunjukkan bahwa per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meru­pakan kebutuhan MPR untuk menyem­purnakan aturan dasar da­lam mewu­judkan kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Jenis Perubahan UUD 1945

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaku­kan untuk menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan untuk mengganti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu jenis per­ubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilaku­kan oleh MPR adalah me­ngubah, membuat rumusan baru sama sekali, meng­hapus atau menghilangkan, me­mindahkan tempat pasal atau ayat sekaligus meng­ubah penomoran pasal atau ayat. Untuk itu dapat dikemukakan contoh sebagai berikut.

Mengubah rumusan yang telah ada.

Sebagai contoh rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang semula ber­bunyi:

Pasal 2

(1)  Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas ang­gota-anggota Dewan Perwakilan Rak­yat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, me­nu­rut atur­an yang ditetapkan dengan un­dang-undang.

Setelah diubah menjadi:

Pasal 2

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Membuat rumusan baru sama sekali.

Contohnya adalah rumusan ketentuan Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

Pasal 6A

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Menghapuskan/menghilangkan rumusan yang ada.

Sebagai contoh, ketentuan Bab IV Dewan Per­timbangan Agung.

BAB IV

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Pasal 16

(1)  Susunan Dewan Pertimbangan Agung dite­tapkan dengan undang-undang.

(2)  Dewan ini berkewajiban memberi ja­wab atas pertanyaan Presiden dan ber­hak mema­jukan usul kepada peme­rin­tah.

Setelah diubah menjadi:

BAB IV

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Dihapus.

Memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya memindahkan rumusan ayat ke dalam rumusan pasal sekaligus mengubah penomoran pasal atau ayat. Contoh pemindahan rumusan pasal ke da­­lam rumusan ayat sekaligus mengubah peno­moran pasal atau ayat adalah ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

Pasal 34

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Setelah diubah menjadi:

Pasal 34

(1)  Fakir miskin dan anak-anak yang ter­lantar dipelihara oleh negara.

Contoh pemindahan rumusan ayat ke da­lam rumusan pasal sekaligus mengubah peno­moran pasal atau ayat yakni ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 23

(2)  Macam dan harga mata uang ditetap­kan dengan undang-undang.

Setelah diubah menjadi:

Pasal 23B

Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.

Ketentuan Umum

Dalam proses dan hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan agar diperoleh kesamaan dan keseragaman pendapat dalam memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk menjadi acuan bagi para narasumber dalam melakukan kegiatan sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa ketentuan tersebut, antara lain, sebagai berikut.

Secara resmi kata yang dipakai dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kata perubahan. Istilah amendemen  yang berasal dari bahasa Inggris tidak digunakan sebagai istilah resmi. Istilah amandemen banyak dipakai oleh kalangan akademis dan LSM serta orang asing.

Penyebutan Undang-Undang Dasar 1945 secara resmi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyebutan resmi ini diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000.

Dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR menyepakati cara penulisan cara adendum yakni naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap dibiarkan utuh sementara naskah perubahan diletakkan setelah naskah asli. Dengan demikian naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah naskah yang terdiri atas lima bagian:

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Agar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat lebih mudah dipahami oleh berbagai kalangan, disusun risalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah yang berisikan pasal-pasal dari Naskah Asli yang tidak berubah dan pasal-pasal dari empat naskah hasil perubahan. Namun Undang-Undang Dasar dalam Satu Naskah itu bukan merupakan naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyebutan nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah termasuk juga perubahannya. Oleh karena itu, tidak perlu disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya atau UUD 1945 dan perubahannya.

Kata “Pembukaan” merupakan penyebutan resmi untuk menunjuk Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Istilah lain yang dapat dipakai adalah Preambule sebagaimana tercantum dalam naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun Mukaddimah merupakan istilah yang digunakan dalam Piagam Jakarta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu Pembukaan dan pasal-pasal. Istilah “Batang Tubuh” yang selama ini digunakan sebagaimana tercantum dalam Pasal II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi dipakai karena sudah digantikan dengan kata pasal-pasal.

Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Walaupun demikian sebagai dokumen historis Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap tercantum dalam naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena dalam melakukan perubahan konstitusi, MPR menganut cara adendum.

Rumusan diatur dengan undang-undang yang terdapat dalam pasal atau ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberi makna hal yang diatur dalam ketentuan itu harus dirumuskan dalam sebuah undang-undang yang khusus diterbitkan untuk kepentingan itu. Adapun diatur dalam undang-undang yang terdapat dalam pasal atau ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberi makna hal yang diatur dalam ketentuan itu dapat menjadi materi suatu atau beberapa undang-undang yang tidak khusus diterbitkan untuk kepentingan itu.

Hasil Perubahan Dan Naskah Asli UUD 1945

Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan se­suai dengan ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR, dalam beberapa kali sidang MPR telah me­ngam­bil putusan empat kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan perincian seba­gai berikut.

Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999 (tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999).

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000 (tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000).

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (tanggal 1 sampai dengan 9 November 2001).

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002).

Setelah disahkannya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu, agenda reformasi kons­titusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini di­pan­dang telah tuntas. Mengingat perubahan dilakukan dengan cara adendum, sete­lah dila­ku­kan empat ka­li perubahan dalam satu rangkaian kegiatan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki susun­an seba­gai berikut:

Naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959);

Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk memudahkan pemahaman secara sis­tematis, holistik, dan komprehensif, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga disusun dalam satu naskah yang berisikan pasal-pasal dari Naskah Asli yang tidak berubah dan pasal-pasal dari empat naskah hasil perubahan. Penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam satu naskah pada awalnya merupakan kesepakatan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masa sidang tahun 2001-2002. Selanjutnya kesepakatan itu dibahas dan disepakati oleh Komisi A Majelis pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002, tanggal 9 Agustus 2002, yang disampaikan pada Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Kesepakatan Komisi A Majelis itu menindaklanjuti laporan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja masa sidang tahun 2001-2002 dalam Rapat ke-4 Badan Pekerja MPR tanggal 25 Juli 2002 berupa draft Undang-Undang Dasar 1945 dalam satu naskah, untuk dilaporkan dalam sidang paripurna MPR, yang selanjutnya akan menjadi risalah sidang paripurna MPR sebagai naskah perbantuan dan kompilasi tanpa ada opini. Namun, susunan Undang-Undang Dasar dalam satu naskah itu bukan merupakan naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedudukannya hanya sebagai risalah sidang dalam rapat paripurna Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

Perlu dicatat bahwa walaupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disusun dalam satu nas­kah, hal itu sama sekali tidak mengubah sistematika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni secara penomoran tetap terdiri atas 16 bab dan 37 pasal. Perubahan bab dan pasal ditandai dengan penambahan huruf (A, B, C, dan seterusnya) di belakang angka bab atau pasal (contoh Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah dan Pasal 22E). Penomoran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tetap tersebut sebagai konsekuensi logis dari pilihan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan cara adendum.

Ditinjau dari aspek sistematika, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diubah terdiri atas tiga ba­gian (termasuk penamaannya), yaitu:

Pembukaan (Preambule);

Batang Tubuh;

Penjelasan.

Setelah diubah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari atas dua bagian, yaitu:

Pembukaan;

Pasal-pasal (sebagai ganti istilah Batang Tubuh).

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Atur­an Peralihan dan 2 pasal Aturan Tam­bah­an.

Ditinjau dari jumlah bab, pasal, dan ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diubah ter­diri atas 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, dan 4 pasal Aturan Peralihan serta 2 ayat Aturan Tambah­an. Setelah diubah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan serta 2 pasal Aturan Tam­bahan. Lihat tabel di bawah ini.

 

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebelum dan Sesudah Perubahan

 

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

No.

 

Bab

Pasal

Ayat

Aturan

Peralihan

Aturan

Tambahan

1.

Sebelum Perubahan

16

37

49

4 pasal

2 ayat

2.

Setelah Perubahan

21

73

170

3 pasal

2 pasal

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar